Cerita Belum Berakhir Part V

Katak Yang Keluar dari Tempurung
Hari masih sangat pagi, dengan muka kebingungan Yusuf duduk ditepi halte memandangi orang-orang di sekelilingnya. Ada bapak-bapak yang berpakaian rapi, namun mengeluarkan uang receh dari saku celana untuk membayar kopi dan roti sarapannya lalu berlari mengejar angkot dengan tetap mengunyah roti di mulutnya. Ada orang yang berpakaian lusuh tanpa alas kaki yang mengangkat beban dengan otot menonjol disana-sini tapi hanya menerima dua lembar uang ribuan. Ada pula seorang anak kecil yang tak berseragam sekolah, tapi justru mengenakan kaos oblong dengan rambut di cat warna-warni dan mengamen. “begitu berharganya kah uang receh di kota ini?”, “inikah ibukota?”, wajah Yusuf mendadak pucat dan serasa tak percaya dengan sambuatan Ibukota yang ia terima.
Setelah merasa cukup lama menunggu dan angkot yang ditunggu tak kunjung tiba, Yusuf memutuskan untuk bertanya kepada seorang laki-laki yang mengenakan seragam hijau muda di sampingnya.
“maaf Pak, angkot jurusan Pulo Gadung yang mana ya?”, tanya Yusuf dengan lirih.
“oh belum ada dek, naik bus way aja kalau mau ke Pulo Gadung”, jawab pria paruh baya berseragam yang ternyata petugas terminal itu.
“iya Pak, terima kasih”, Yusuf tersenyum kemudian berlalu mencari bus way.
Karena di kampung Yusuf tidak ada transportasi massal seperti bus way, Yusuf tidak tahu apa itu bus way, bentuknya seperti apa, bagaimana ia harus naik ke kendaraan yang disebut bus way itu. Beribu pertanyaan menyatu difikirannya. Yusuf memang benar-benar tak mengerti. Dia terus berjalan dan akhirnya dia menemukan sebuah tulisan “HALTE BUS WAY TERMINAL KALI DERES”. Laksana mendapatkan wangsit saat bertapa, Yusuf bergegas mendatangi tempat yang penuh sesak dengan orang-orang yang sedang mengantri itu. Setelah membeli tiket Yusuf pun bergabung dengan antrian para calon penumpang bus way.
Sumua orang yang mengantri itu tampaknya tak ada yang menunjukkan gambaran wajah santai. Semuanya terlihat terburu-buru. Berdesakan, saling mendahului, mendorong, terdorong, bahkan Yusuf juga melihat seorang wanita tua semuran ibunya terhimpit diantara dua laki-laki kekar. Dengan susah payah wanita tua itu bernafas, mencari tempat yang nyaman untuk tubuh rentanya. Tak banyak yang bisa Yusuf lakukan selain memandang wanita tua itu dengan wajah sedih. Dia membayangkan jika seandainya itu adalah ibunya. Tiba-tiba lamunannya itu buyar karena dorongan seseorang yang berada di belakangnya.
Setelah beberapa saat ia berdesakan dalam padatnya antrian, akhirnya Yusuf masuk ke dalam bus way dan menempati tempat duduk di samping seorang perempuan dengan jilbab gombrong berwarna hitam dan cadar di wajahnya.
Bus way pun berjalan dan Yusuf sedikit merasa tenang. Namun ketenangan Yusuf itu tidak berlangsung lama. Yusuf mendadak panik ketika petugas bus way mengatakan istilah transit, halte monas, halte dukuh atas, dan lain sebagainya. Dia bingung, di halte apa dia harus turun, apa itu transit, dan kapan dia harus meninggalkan bus way itu. Setelah beberapa saat ia berfikir, akhirnya dia mendapatkan ide. Dia menegur perempuan dengan jilbab gombrong warna hitam yang duduk di sebelahnya.
“Mau ke mana buk?”, tanya Yusuf memulai idenya
“Mau ke Pulo Gadung dek?”, jawab perempuan itu sekenanya.
“Oh sama, eee… saya mau tidur buk, nanti kalau sudah sampai di Pulo Gadung tolong bangunkan saya ya buk”, kata Yusuf berpura-pura mengantuk.
“Iya dek, tidur aja”. kata perempuan itu singkat.
Beberapa menit berlalu dan Yusuf tetap dalam posisinya. Menunduk, menyandarkan kepalanya pada tas yang ada dalam pangkuannya. Yusuf berusaha menyempurnakan aktingnya dengan sedikit dengkuran yang dia sadar itu pasti mengganggu orang-orang di sekelilingnya. Yusuf terlihat sangat nyenyak dan menikmati tidurnya. Padalah jauh di dalam hatinya ia merasa was-was dan khawatir. Dia takut tersesat. Ini pengalaman pertamanya berada di kota Megapolitan seperti Jakarta. Ditambah lagi tidak adanya alat komunikasi yang bisa ia pakai karena handphone butut miliknya telah mati kehabisan baterai. Yusuf tak sabar ingin segera mendengar suara perempuan yang tadi telah berjanji untuk membangunkannya.
“Dek, adek, ayo bangun. Sudah sampai di Pulo Gadung”, suara perempuan itu mengakhiri sandiwara Yusuf.
“Oh iya, terima kasih bu”, jawab Yusuf dengan mata sipit ala orang bangun tidur.
Semua penumpang turun karena ternyata terminal Pulo Gadung adalah pemberhentian terakhir dari busway itu.
Semua penumpang telah meninggalkan busway, begitupun Yusuf. Ia keluar dan kini ia berada di terminal yang terkenal dengan calok dan copet terbanyak di Ibukota. Itu yang pernah ia dengar dari beberapa cerita teman-temannya. Hal pertama yang ia cari adalah counter handphone karena ia ingin mencharge handphone bututnya. Tak berapa lama setelah handphone butut Yusuf mendapat aliran listrik, Yusuf segera melihat sms yang beberapa hari lalu ia terima dari sepupunya. Isi sms itu adalah alamat tempat tinggal sepupunya yang bernama Adi.
“kalau nanti sudah sampai di terminal Pulo Gadung, cari angkot warna merah dengan nomor 27, turun di depan Kantor BRI cabang Pulo Jahe, terus telp aku, nanti aku jemput”, suara Yusuf pelan membaca sms dari sepupunya yang telah ia terima sebelumnya.
Yusuf menghela nafas panjang. Setidaknya ia sedikit lega karena tak lama lagi ia akan bertemu dengan sepupunya dan kemudian bisa beristirahat melepas lelah. Dengan tenaga yang tersisa, Yusuf melangkah mencari angkot merah nomor 27. Tiba-tiba Yusuf berlari mengejar angkot yang mempunyai ciri-ciri sesuai dengan yang digambarkan oleh sepupunya. Dengan sekuat tenaga Yusuf berlari dan akhirnya ia dapat menyusul angkot yang tadi ia lihat. Setelah ia masuk dan duduk di angkot yang hanya berisi dua penumpang itu, ia bingung karena angkot di belakangnya juga bernomor 27. Yusuf baru sadar bahwa angkot warna merah dengan nomor 27 itu bukan hanya satu seperti yang ia tahu sebelumnya. Ia tersenyum dan mentertawakan kebodohannya.
Dengan wajah tegang Yusuf terus mengamati setiap jalan yang ia lewati. Satu tempat yang ia jadikan patokan adalah Kantor BRI cabang Pulo Jahe sesuai dengan apa yang telah diintruksikan oleh sepupunya. Tak berapa lama Yusuf melihat Kantor BRI yang ia maksud. Kemudian ia segera turun dan duduk di kursi kecil yang berada tepat di pojok depan dari Kantor BRI itu. Tanpa berfikir panjang ia langsung meghubungi sepupunya dan memberi kabar bahwa ia telah sampai di tempat dimana ia akan dijemput.
Selang beberapa menit, Yusuf melihat ada sms masuk dan itu dari sepupunya yang mengatakan bahwa ia sedang bekerja. Namun sepupunya juga mengatakan bahwa ia telah meminta tolong kepada temannya untuk menjemput Yusuf. Namanya Nano. Itu akhir dari sms yang Yusuf baca. Yusuf kembali menunggu. Menunggu Nano yang tak lain adalah teman dari sepupunya itu. Setelah menunggu cukup lama, seseorang yang mengendarai motor RX-King warna biru berhenti tepat di depan Yusuf. Orang itu segera membuka helm yang ia pakai dan menyapa Yusuf.
“Yusuf ya?” sapa Nano singkat.
“owh mas Nano toh”, jawab Yusuf dengan nada akrap.
“loh emang kamu kenal sama saya?”, Nano terlihat bingung dan berusaha mengingat wajah orang yang ada di depannya itu.
“kenal lah mas, anaknya Pak Lek Sukirno kan?”, Yusuf terlihat bersemangat.
“iya, kamu sepupunya Adi yang mana ya?”, Nano terlihat masih bingung.
“saya anaknya Pak Sutiman, Jln. Pak Jo, Tulus Ayu.”, Yusuf menyebutkan nama ayahnya lengkap dengan jalan rumah dan nama desanya yang juga merupakan desa Nano.
“ya ampun kamu dedi yang dulu kecil itu?”, lanjut Nano yang terlihat sudah mengerti.
“iya mas”, jawab dedi singkat dengan wajah malu.
“ya sudah, ayo kita ke kost saya dulu. Kosan Adi dikunci. Dia pulangnya nanti sore”. Segera menghidupkan motor yang ia naiki.
Jarak antara kost Nano dengan tempat dimana Yusuf menunggu tidak terlalu jauh. Sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di kost Nano. Setelah sampai, Nano segera menyiapkan handuk, sabun, sikat gigi dan perlengkapan mandi yang lain. Sepertinya Nano telah mengerti betul jika Yusuf sudah tidak mandi selama hampir dua hari. Yusufpun sangat bersemangat untuk segera mempertemukan tubuhnya denga air yang sangat ia rindukan itu. Yusuf cukup lama di dalam kamar mandi. Maklum banyak kotoran yang harus ia bersihkan dari tubuhnya. Setelah ritual mandinya selesai, ia keluar dan menuju kamar tempat Nano istirahat. Ia pandangi ruangan yang ukurannya kira-kira hanya empat kali empat centimeter itu. Terlihat kasur tanpa tempat tidur yang digulung dan diletakkan di pojok kamar. Sebuah televisi 21” yang sedang hidup menayangkan FTV remaja dengan berbagai adegan romantis ala anak muda. Lemari kecil yang sepertinya adalah tempat untuk meletakkan baju  Nano. Di samping lemari itu juga terdapat meja dengan dua buah nasi bungkus dan air mineral di atasnya.
“ayo makan..!”, kata Nano membuyarkan konsentrasi Yusuf yang sedang memandangi setiap sudut kamar Nano.
“iya mas, ayo”, jawab Yusuf spontan.
“ini nasi bungkusnya, dan itu minumnya ambil di atas meja”, Nano mengambil nasi bungkus dan diberikan kepada Yusuf.
Mereka berdua menikmati nasi bungkus yang sebelumnya telah Nano beli ketika Yusuf tengah mandi. Nano terlihat menikmati nasi bungkus yang ia makan. Terlebih Yusuf yang sejak pagi tak sempat untuk sarapan. Tak membutuhkan waktu lama untuk melahap habis nasi bungkus untuk ukuran perut lapar seperti yang sedang Yusuf rasakan. Setelah makan, Yusuf memutuskan untuk memberikan hak kepada mata dan anggota tubuhnya yang lain. Yaitu hak untuk istirahat dan melepas lelah. Yusuf tertidur hingga akhirnya ia terbangun karena ada seseorang yang menepuk bahunya dengan sedikir keras. Tak terasa hari telah sore. Terasa sangat singkat bagi Yusuf waktu yang ia gunakan untuk istirahat. Yusuf membuka mata dan ia melihat ternyata yang menepuk bahunya itu adalah sepupunya.
“hoi, kiyai”, teriak Adi membangunkan Yusuf.
“oi”, jawab Yusuf singkat dan membuka mata.
“bangun kiyai”, begitu Adi memanggil sepupunya.
“hoi di, bagaimana kabarmu?”, Yusuf tersadar dan segera tak terlihat sedikitpun bahwa ia baru bangun tidur. Ia senang karena memang sudah lama tak bertemu dengan sepupunya itu.
Setelah beberapa saat berbincang ringan, Adi mangajak Yusuf ke kost tempat ia tinggal. Yusufpun segera mengiyakan dan berpamitan dengan Nano yang tadi menjemputnya.
Adi dan Yusuf berjalan beriringan sambil terus bercanda sepanjang jalan. Singkat cerita mereka berdua telah sampai ke sebuah gang bernama “Gang Rajawali”. Melewati lorong kecil dengan sedikit aroma khas got yang ada di samping jalan itu.
“ayo sini masuk”, suara Adi membuka pintu kostnya.
“oh iya iya”, Yusuf berlalu melupakan aroma got yang sangat menyengat di hidungnya dan memasuki kamar kost Adi.
Yusuf mengamati kamar kost Adi yang menurutnya amat sangat sederhana. Matanya menatap tajam setiap pojok kamar. Aksinya semakin khusuk saat Adi sedang berada di dalam kamar mandi. Sebuah kamar tanpa lemari baju, tanpa tempat tidur, tanpa kasur, dan tanpa barang berharga lainnya. Hanya ada selembar karpet berwarna biru dengan panjang sekitar satu kali dua meter, dua buah kardus mie instan yang digunakan untuk menyimpan baju, satu buah galon air, sebuah teko panas, sebuah piring dan gelas keramik yang pegangannya telah patah serta sebuah radio jadul jaman penjajahan Belanda. Hanya itu yang ia lihat di dalam kost Adi.
“ngopi kiyai”, suara Adi mengejutkan Yusuf yang tengah menatap merebahkan badanya di karpet.
“boleh, mana?”, jawab Yusuf ringan.
“beli dulu lah, hahaha”, tawa mereka pecah memenuhi kamar kost.

~Nantikan perjuangan Yusuf berikutnya karena Cerita Belum Berakhir dan akan banyak sekali perubahan yang terjadi pada diri Yusuf, Adi serta kawan-kawannya~

Popular posts from this blog

SURAT IZIN MENGEMUDI TIDAK PERLU DIPERPANJANG?

Program Billing Warnet Manual

Menghitung Gaji Karyawan Berdasarkan Golongan