SEPOTONG LIDI DARI IBU
“Apa sih kegiatan pertama yang wajib diikuti oleh semua
siswa dan siswi baru ?”. Kalau aku jawab Masa Orientasi Siswa (MOS) setuju nggak? Setuju…!, oke deh mungkin semua sekolah sama ya? Dengan alasan agar siswa
baru lebih mengenal sekolahnya, kegiatan MOS sepertinya selalu wajib diadakan
di setiap sekolah. Sama halnya dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) baruku. Kegitan
ini dilakukan selama empat hari. Hari pertama disebut pra mos, kegiatannya nggak
ada yang istimewa. Hanya perencanaan untuk kegiatan MOS inti. Perencanaan kegiatan
MOS untuk tiga hari kedepan dipimpin oleh kakak-kakak OSIS sok senior yang
didukung dengan arogan style itu.
Tapi yaaa mungkin memang harus seperti itu kali ya untuk membentuk kedisiplinan
aku dan para siswa baru lainnya.
Semua rencana untuk tiga hari kedepan telah diberitahu.
Mulai dari jadwal kegiatan sampai atribut yang harus dipakai ketika acara MOS
berlangsung. Untuk atribut banyak sekali hal nggak penting yang menghiasi badan kami. Coba aja bayangin, tas harus dari kantong plastik warna merah. Kaos
kaki harus satu panjang dan yang satu pendek. Di pinggang kiri dan pinggang
kanan digantungin mi instant. Ribet
banget kan
tuh. Satu lagi yang sangat membuat aku sungkan adalah harus memakai topi yang
terbuat dari daun. Uuuuuuh… sebel banget kan ..?.
Tapi itulah peraturan, peraturan dari kakak-kakak osis senior yang sok
terhormat.
Pra mos berakhir. Setelah mengayuh sepedah butut dengan
bahan bakar keringat super bau, akhirnya aku sampai di rumah. Eh bentar deh pasti
kalian bertanya, “Naik sepeda…? Kan
kamu masuk ke SMA bukan tahun angkatan 80an. Kok pake sepeda,,?”. Hehe tenang
kawan nggak perlu heboh kali. Itulah
aku, belum punya motor. Tapi santai, bagiku motor itu bukan faktor penting
penentu keberhasilan dalam meraih prestasi di bangku sekolah. Yang penting
adalah minat dan tekad kuat untuk mengangkat harkat dan martabat yang harus
didukung dengan semangat…!!! Hahaha..
Singkat cerita, hari pertama MOS telah tiba. Hal yang sangat
aku ingat dan masih terasa sampai saat ini adalah ketika aku hendak berpamitan
kepada kedua orang tuaku. Setelah beribu-ribu kali bercermin mengamati segudang
atribut konyol yang menempel di badanku, ku beranikan diri untuk melangkah
menemui kedua orang tuaku. Kebiasaan sejak saat Taman Kanak-Kanak aku selalu
mengucap salam dan mencium tangan kedua orang tuaku.
Sama seperti pagi itu, kucium tangan ibuku tanda meminta
do’a restu. Dia tersenyum dan memeluk tubuhku erat. Nyaman sekali saat berada
dipelukannya. Tak ada pelukan sehangat dan senyaman pelukannya. Setelah
beberapa saat dia memelukku, akhirnya dia melepaskan pelukan sayang itu. Ku
lihat ia meneteskan air mata. “Ada
apa ini”, tanyaku dalam hati. Kembali dia tersenyum kepadaku. Semakin aku
bingung dibuatnya. Kemudian dia memberikan sepotong lidi yang aku masih tak
mengerti untuk apa potongan lidi itu. Dari
mulut orang yang paling aku sayang itu terucap kata-kata “ini untuk persiapan
kalau nanti topi daun kamu lepas”. Mendadak air mataku mengucur.
Baru aku mengerti apa arti lidi itu. Lidi itu adalah tanda
kasih sayang darinya untuk ku yang lebih bernilai dari pada lembaran rupiah.
Lebih bermakna dari pada sebuah sarapan roti kering yang lengkap dengan susunya
sekalipun. Lebih menguatkan niat dan tekad dari pada tumpukan emas dua puluh
empat karat. Ya,, meski hanya sepotong lidi.
Akhirnya hanya sepotong lidi itu teman setia MOS ku yang
amat-amat sangat menyebalkan. Tanpa uang saku, terus mengayuh tanpa keluh demi
mengupas peluh dan mengganti dengan keberhasilan penuh.
Aku selalu bermimpi dan berdo’a, semoga suatu saat nanti aku
bisa mengganti potongan lidi itu dengan kepingan kebahagiaan. Atau pun jika aku
tidak sempat berhasil membahagiakannya, semoga Allah selalu menentramkan jiwa
kedua orang tuaku. Amin…!
Dan itulah cerita pribadiku lima tahun yang lalu. Meskipun hal itu
terjadi sudah sangat lama namun itu adalah salah satu cerita indah yang selalu
membakar semangatku. Aku tak peduli tanggapan orang lain setelah membaca cerita
ini.
Bagiku, inilah dokumentasi kebahagiaan dan bukti kasih sayang seorang ibu
kepada anaknya. Anaknya yang saat ini sangat merindukan pelukan hangat itu.
Ibu, aku sangat merindukanmu.
Dedi Purnomo
Dedi Purnomo